…menulis untuk mencicil ketidaktahuan

Relusi

Posted in My Self-writing, percikrenungan, Uncategorized by daengrusle on March 13, 2019

delusions-788.jpg

(Foto ilustrasi dari sini)

Ini menyedihkan. Seorang Ibu meledakkan diri di rumahnya semalam (13-03-2019) di Sibolga. Di dalam rumah yang malang itu, sang ibu tinggal bersama dua anaknya yang masih kecil. Kabar terakhir menyebutkan bahwa mereka tewas dalam ledakan itu.

Sang suami, yang menurut berita disebut bernama Husain atau Abu Hamzah, sudah lebih dulu ditangkap aparat. Konon, penangkapan ini karena ada dugaan aklsi terorisme yang dilakukan oleh mereka.

Seusai penangkapan Abu Hamzah yang diduga jaringan kelompok radikal bersenjata, aparat kepolisian berupaya menggeledah rumah Abu Hamzah. Namun ada benda diduga bom meledak saat polisi hendak masuk ke rumah. Sang Ibu yang ada di dalam rumah belum menyerah.

Semalam, ledakan berikutnya terdengar dari dalam rumah. Kabarnya sang ibu meledakkan diri. Dari polisi kita mendengar kabar duka bahwa ibu dan anak-anaknya tewas seketika.

**

Saya tak mengerti bagaimana seseorang memperlakukan hidup ini begitu muramnya. Apalagi, kalau ia meyakini bahwa semua orang di dunia ini memusuhi dirinya.

Keyakinan seperti ini disebut delusi, yakin akan sesuatu yang salah. Ini bisa berasal dari doktrin atau ajaran yang secara intens dicekokkan ke pikirannya. Sesuatu ide atau pikiran yang disampaikan berulang-ulang, apalagi dengan teknik provokasi dan persuasi, akan diterima sebagai kebenaran. Iya, seperti ajaran agama. Berulang-ulang, intens dan disertai janji dan ancaman.

Kalau delusi ini berhubungan dengan agama, maka para ahli menyebutnya sebagai Relusi.

Religious delusion, ini istilah teknis yang diperkenalkan oleh kaum atheis untuk melabeli mereka yang mengidap penyakit delusional, merasa benar sendiri – tak menerima kritik dan menolak adanya perbedaan, yang berkaitan dengan pemahaman keagamaan atau ketuhanan.

Di Jepang, dulu ada sekte agama baru bernama Aum Shinrikyo. Mendengar nama sekte ini, orang mungkin akan bergidik ngeri.

Pemimpinnya, Shoko Asahara, seorang lelaki buta yang baru beberapa tahun mempelajari agama-agama dunia, tetiba di tahun 1984 mendaku diri sebagai Yesus, sang Juru Selamat. Dalam memengaku memiliki kekuatan supranatural yang bisa dia pindahkan ke pengikutnya.

Selain menubuatkan tentang kiamat, yang akan didahului oleh perang dunai ke-3 dengan serangn nukir mematikan, dia juga menganggap Yahudi, Freemasonry dan beberapa kelompok sebagai musuhnya. Yang anehnya, dia juga memasukkan pemerintah Belanda dan Inggris dalam daftar kelompok yang mesti dibasmi.

Kalau hanya retorika ajaran dan disampaikan sebatas mimbar saja, mungkin orang masih tak begitu khawatir.

Masalahnya, Asahara ternyata memerintahkan pengikutnya, yang semakin banyak setiap saat, untuk juga beraksi melenyapkan musuh-musuhnya.

Tahun 1995, sekelompok pengikut garis kerasnya menebarkan gas Sarin yang beracun di stasiun metro Tokyo. Akibatnya 13 orang tewas seketika, dan ribuan lainnya menderita cedera berat.

Setelah kejadian itu, kemudian terungkap bahwa sekte ini juga melakukan 27 pembunuhan lainnya, termasuk membunuh keluarga pengacara yang menuntut dirinya di pengadilan.

Tsutsumi Sakamoto, pengacara cemerlang yang masih berusia muda, 33 tahun, tewas bersama istri dan anaknya yang masih berusia 14 bulan ketika apartementnya diserbu oleh pengikut Shinrikyo di tahun 1989. Pengacara yang berhasil menyeret Asahara ke meja hijau itu dicekik dan disuntik dengan klorida.

Mayat Sakamoto beserta istri dan anaknya dimasukkan ke 3 galon besi berbeda dan dibuang saling menjauh. Sampai tahun 1995, nasib keluarga ini tak ketahuan rimbanya. Mereka dianggap menghilang begitu saja. Hingga kemudian terungkap 6 tahun setelah kejadian, ketika pengadilan berhasil memaksa algojo-algojo Asahara untuk mengakui pembunuhan-pembunuhan yang dilakukannya.

Asahara, berikut beberapa pentolan kelompok ini kemudian dihukum mati dengan cara digantung tahun 2018 silam. Kejahatannya yang tak alang kepalang ini membuat orang bergidik. Bagaimana mungkin sebuah keyakinan, delusi, bisa menyebabkan orang tergerak untuk melakukan kejahatan yang mengerikan.

Itu di Jepang. Kita juga punya banyak cerita lain di belahan dunia berbeda. Di Suriah kita mengenal kelompok durjana bernama ISIS dan beberapa sempalannya. Di Afghanistan, ada Taliban, juga alQaeda.

Wajah mengerikan kelompok relusi berbusana agama ini selalu muncul, sayangnya. Dan parahnya, banyak yang meyakini kebenarannya. Itu mungkin bersumber dari sikap frustasi menghadapi dunia yang serasa tak adil terhadap mereka. Terang saja tak adil, kalau mereka tak ikut “menikmati” betapa lezatnya hidup nyaman dan tenang dengan keluarga yang tentram.

Tapi perasaan tak adil atau tak merasa diperlakukan adil itu bukan menjadi pembenaran untuk menganggap yang lain sebagai musuh dan kemudian mesti dibasmi. Itu delusi, atau relusi.

Bukankah dalam setiap ajaran agama selalu kita mendengarkan petuah bahwa kebahagiaan orang lain sejatinya adalah kebahagiaan kita sendiri. Memuliakan tetangga dan tamu, menghormati hak-haknya adalah setinggi-tingginya akhlak beragama?

Sikap relusi ini, delusi karena keyakinan keagamaan yang salah, mesti kita perangi terus menerus. Agar tak ada lagi kasus ibu meledakkan diri bersama anak-anaknya, yang mungkin saja memiliki masa depan yang cerah, tak seperti orang tua mereka yang delusional.

Mari kawan-kawan, kita hentikan penyebaran kebencian dan sikap permusuhan ke orang lain. Nasib buruk atau kemalangan itu manusiawi, bisa terjadi pada siapa saja. Namun uluran tangan atau komunikasi positif dengan sesama tentu bisa meringankan beban, apalagi kalau bisa ikut membantu menghilangkan kesulitan.

16 Responses

Subscribe to comments with RSS.

  1. Tari Artika said, on March 14, 2019 at 6:03 am

    Pagi tadi baru lihat beritanya di tv, sedih sekali karena baru awal tahun 2019 tapi kasus bunuh diri hampir tiap bulan terdengar. Menarik sepertinya bahas religious delision ini, saya pernah baca esainya tapi kurang mendalam pembahasannya.

  2. lelakibugis.net said, on March 14, 2019 at 6:20 am

    makin menyedihkan dan mengerikan. apa yang harus kita lakukan agar tidak makin banyak orang yang kena relusi ini, Daeng?

    • daengrusle said, on March 14, 2019 at 6:41 am

      saya kira cara minimal yang perlu dilakukan adalah agar narasi kekerasan dalam bungkus agama bisa dihentikan penyebarannya… kalau ikut pengajian, atau pertemuan, lebih banyak sampaikan kisah-kisah damai daripada yg perang2an. kita tidak sedang berperang melawan musuh,

  3. Enal said, on March 14, 2019 at 12:47 pm

    Sangat menyedihkan, agama yang semestinya jauh dari kegamangan kini seolah sumber kegamangan itu sendiri. Sikap tertutup dan tidak mempelajari secara keseluruhan kada membuat kita angkuh dalam keakuan.

  4. Daeng Ipul said, on March 14, 2019 at 2:01 pm

    Semua yang berlebihan dan bikin mabuk memang tidak ada bagus-bagusnya. Apapun itu, bahkan agama sekalipun.

  5. Mydaypack said, on March 14, 2019 at 2:38 pm

    hidup itu tidak boleh berlebihan, apa pun yang berlebihan akan berdampak buruk pada akhirnya. percayalah hehee

  6. Dawiah said, on March 14, 2019 at 2:42 pm

    Mungkin ini bisa dibilang cinta yang bukan pada porsinya, karena pada dasarnya cinta yang cukup itu sudah bisa memenuhi hati dan akal pikiran. Termasuk cinta kepada sesama.

  7. Mugniar said, on March 14, 2019 at 2:43 pm

    Menyedihkan ya Daeng. Saya prihatin sekali. Apapun itu, kekerasan seperti ini sebenarnya terlarang dalam sebuah agama yang baik tapi anehnya ada saja yang bisa dicuci otaknya. Mengerikannya lagi, mereka memanfaatkan media sosial.

  8. Admin said, on March 14, 2019 at 7:05 pm

    Doktrin seperti inilah yang harus dihundiri..Menganggap diri paling benar dan kalau tidak sepaham itu musuhnya..

    Apalagi tidak menghargai perbedaan antar masyarakat..

    Dan jelas-jelas bunuh diri itu dosa..kok mengaku benar lalu sanggup bunuh diri..sadisnya..

    Mudah-mudahan pikiran seperti tidak menyebar di tanah air tercinta..

  9. Daeng Techno said, on March 14, 2019 at 7:07 pm

    Doktrin seperti inilah yang harus dihundiri..Menganggap diri paling benar dan kalau tidak sepaham itu musuhnya..

    Apalagi tidak menghargai perbedaan antar masyarakat..

    Dan jelas-jelas bunuh diri itu dosa..kok mengaku benar lalu sanggup bunuh diri..sadisnya..

    Mudah-mudahan pikiran seperti tidak menyebar di tanah air tercinta..

  10. Ardian said, on March 15, 2019 at 5:31 am

    Saya baru tahu kalau ada yang namanya Delusional Religious. Karena yanh saya pahami dari dulu, delusi itu adalah khayalan yang diyakini nyata. Mimpi yang dirasa comes true

  11. adda said, on March 15, 2019 at 6:27 am

    Ini bukan saja menyedihkan tapi mengerikan. Kita hidup didunia terdiri dari banyak perbedaan dan betapa menyedihkannya hidup mereka yang tidak bisa berdampingan. hidup dengan kedamaian jauh lebih indah. Bahwa kadang hidup terasa tidak adil bukan menjadi sebuah alasan untuk memerangi mereka yang tidak sepaham.

  12. sluggish journey said, on March 15, 2019 at 4:02 pm

    Sangat memprihatinkan sekali melihat kejadian seperti ini.

    Justru dari perbedaan itulah kita bisa lebih belajar sikap toleransi, tapi ini malah sebaliknya. ckckckck.

  13. siskadwyta said, on March 16, 2019 at 2:00 am

    Miris sekali dengan berita “bunuh diri” yang dilakukan ibu tersebut. Dua anaknya yang masih kecil dan tak tahu apa-apapun akhirnya ikut jadi korban.

    Btw saya juga baru tahu istilah relusi ini dan yah saya setuju dengan pendapat daeng Ipul, segala hal yang berlebihan itu tidak ada yang bagus termasuk dalam hal beragama.

  14. andyhardiyanti said, on March 16, 2019 at 2:46 am

    Saya baru tahu kejadian di Sibolga ini dari postingannya Daeng Rusle. Sedihnya yaa..sekaligus prihatin, rasanya kok murah sekali harga sebuah nyawa. Gampang aja gitu kalau mau bunuh diri


Leave a comment