…menulis untuk mencicil ketidaktahuan

HARI HUJAN

Posted in cerita by daengrusle on February 14, 2019

#Cerpen

Istrinya mati karena demam berdarah. Hari itu, di kamar mayat ia duduk berselonjor begitu saja di lantai. Pandangannya kosong, meski orang banyak lalu lalang di depannya.

Tiga bulan lalu mereka menikah. Keduanya bertemu tak sengaja, di antrian sembako yang digelar Haji Salim di depan rumahnya. Keduanya berebutan beras kemasan 1kg, yang dilemparkan begitu saja oleh anak buah Haji Salim ke kerumunan orang.

Ia dan perempuan yang kelak menjadi istrinya itu bersitatapan. Dan seperti kisah di film-film, mereka kenalan dan saling jatuh cinta. Kemudian menikah, di surau Haji Salim hanya dua minggu setelahnya.

Pernikahan keduanya hanya disaksikan pak Tresno, marbot surau, yang juga merangkap jadi penghulu. Tak ada surat nikah, tak ada jamuan, tak ada apapun dan siapapun. Hanya ijab Kabul sederhana. Keduanya miskin, sebatangkara, tak punya siapa dan apa.

Setelah menikah, ia membawa istrinya ke gubuk kecil di tengah hutan desa. Sejak kecil dan menyadari keberadaan dirinya, di gubuk itulah dia tinggal. Untungnya tak ada yang mengusik dan menanyai sertifikat tanah yang ia tinggali.

Istrinya, dulunya tumbuh besar dan menetap di semangnya, Haji Rambe, yang memungutnya dari Panti Asuhan kota. Karena sering diperlakukan kasar, suatu hari ia minggat dari rumah. Dan hanya berkeliaran di pasar, bekerja dengan membantu siapa saja dengan imbalan berapa saja. Semangnya, Haji Rambe dan istrinya juga tak peduli. Tak pernah meminta lagi dia kembali.

Ketika itu musim penghujan tiba. Tiada hari tanpa hujan, lebat sekalipun.

Dipan kecil yang biasanya hanya menampung dirinya, kini mesti berbagi dengan istrinya. Jadinya suaranya berderik-derik keras ketika keduanya berada di atasnya.

Tapi yang membuat mereka sering terbangun tengah malam bukan dipan lawas itu. Atap jerami yang sudah bolong sana sini itu menjadi tempat tempias air hujan dan membasahi pasangan itu.

Walhasil, musim penghujan membawa petaka. Buat dirinya dan istrinya.

Jentik nyamuk berbiak di kubangan, dan setelah dewasa, ribuan nyamuk berbagai jenis itu liar mencari kulit untuk dihisap.

Setangguh apapun dia dan istrinya, penyakit kadang lebih perkasa. Keduanya terjangkit demam berdarah.

Di gubuk kecilnya, sepasang penghuninya lemas tak berdaya. Dinginnya malam pun menusuk sampai ke tulang. Mereka tak punya selimut hangat, hanya lembaran koran yang mereka pungut di pasar. Itupun banyak yang sudah lembab karena hujan.

Dua hari, empat hari, hingga kemudian seminggu demam itu tak hilang. Hari ke-tujuh panas istrinya sirna, namun berganti darah yang mengucur di mana-mana. Hidung, bibir dan muntahnya. Ia panik.

Di tengah hujan lebat, tengah malam ia yang juga lemah menggendong istrinya ke puskesmas desa. Terlambat, sesampai di sana, nafas istirnya sudah lenyap.

Perawat satu-satunya yang sedang berjaga di tengah malam itu hanya menatapnya sendu. “Maaf bapak, istri anda sudah meninggal. Tapi setidaknya bolehkah saya merawat Bapak, saya lihat anda juga kena demam yang sama”.

Oleh perawat itu, ia dibaringkan di bangsal, diberi infus dan diselimuti. Sementara jasad istrinya dibawa ke kamar mayat.

Dua hari dirawat ia berangsur sembuh dan mulai kuat. Tapi tak ada yang mengurusi jenazah istrinya. Kata petugas puskesmas, mereka kehabisan cairan pengawet. Jasad istrinya mulai membusuk. Mereka minta izin, bisakah jasad itu dikuburkan saja segera?

Dia menggeleng. “Saya yang akan menguburnya, sendirian. Hari ini saya akan pulang membawanya”.

Di sore hari, perawat datang lagi dan memeriksanya sekali lagi. Ia sudah baikan dan boleh pulang, kata perawat itu. Biaya perawatan ditanggung negara, ujar perawat itu lagi.

Lelaki itu berterima kasih, kemudian bergegas ke kamar mayat menjemput istrinya.

Sesampai di sisi jasad istrinya, tiba-tiba dadanya sesak. Ia tak kuasa menahan tangis. Ia menangis sekeras-kerasnya. Pertama dalam hidupnya.

Orang-orang yang lalu lalang sekilas menengok ke arah suara, lantas kemudian kembali tak peduli. Orang menangis di kamar mayat itu biasa.

Sehabis menangis sekeras-kerasnya itu, ia terdiam dan berselonjor di lantai beberapa jenak.

Kemudian berdiri, meraih jasad istrinya dan membopongnya di lengannya. Ia pulang ke gubuknya di tengah hutan.

Di samping gubuk, ia membuat lubang besar seperti sumur. Kemudian dia jeda. Menunggu sesuatu.

Kemudian hujan kembali turun, sangat derasnya. Lubang yang ia gali mulai tergenang, dan sepenuhnya terbenam di air hujan.

Ia perlahan bangkit, mengambil jenazah istrinya, mendekati lubang itu yang sudah tak tampak sisi-sisinya karena terendam air.

Didekapnya sekali lagi jasad perempuan yang baru tiga bulan menemaninya itu. Lengan kerasnya mendekap erat lantas melompat masuk ke lubang, bersama istrinya.

Ia mengakhiri hari hujan, di sore itu.

Hidup memang harus diperjuangkan, tapi perjuangan juga punya titik akhir, ujarnya sebelum membenamkan diri di lubang sumur.

 

**

 

 

Tagged with: ,

8 Responses

Subscribe to comments with RSS.

  1. siskadwyta said, on March 6, 2019 at 7:37 am

    Baru tiga bulan menikah dan harus menghadapi kenyataan istrinya meninggal karena nasib hidup keduanya yang tragis. Mana endingnya juga tidak kalah tragis. Menyedihkan sekali. Untung saja ini cuma cerpen.

  2. lelakibugis.net said, on March 6, 2019 at 9:20 am

    Hidup seringkali sebercanda cerpen ini. Ada banyak orang dengan kisah sedikit berbeda namun memiliki nasib yang bahas.
    Macca ki pale maroki carita ponco’, Daeng dih.

  3. Daeng Ipul said, on March 6, 2019 at 2:37 pm

    Sedihnya… 😦

    Sekuat apapun seseorang, ada masa ketika kita sudah tidak kuat lagi dan akhirnya menyerah.

    Cerita yang bagus, walaupun menyedihkan.

  4. sluggishjourney said, on March 7, 2019 at 7:09 am

    A very sad ending hiksss,,,. Kasian sekali yah hidupnya mulai dari awal sebatang kara dan harus meninggal karena sakit.

  5. Daeng Techno said, on March 7, 2019 at 10:43 am

    Hikss..sedihnya ceritanya daeng..nasib baik cuma cerpen yah..tapi saya salut dengan imijinasi ta yang bisa berpikir sampai sejauh itu..sehingga kita para pembaca turut merasakan kejadian ini.

  6. Ardian said, on March 8, 2019 at 12:36 am

    Antara horor, sad story and romance, I guess hehe. Tapi saya paling suka bagian akhirnya, “Hidup memang perlu diperjuangakn, tapi ada juga titik akhirnya”. Betul banget bang.


Leave a comment