…menulis untuk mencicil ketidaktahuan

Renungan Bonte’

Posted in Kenangan by daengrusle on February 14, 2010

Mentimun

Ahad siang, 11.50am

Melirik sambal terasi dengan tomat yang dicobe’ (gerus), saya melebarkan selera ke satu titik bayang di kepala saya.
“Ada bonte’?. Bonte’ adalah padanan kata timun, ketimun atau mentimun dalam bahasa bugis dan makassar.
“Gak ada” jawabnya meneruskan makan.
“Tadi di penjual sayur, ada (jual) gak?”
“Ada” dengan jawaban sekenanya.
“Kenapa tidak beli?”
Dia diam saja.
“Kalau bisa beli bonte’. Harganya gak seberapa”.

Dia tahu kesukaan saya, dan saya sering mengingatkan soal bonte’ ini. Bonte’ ini nikmat dihidangkan dalam keadaan segar, dengan kandungan air yang tinggi seumpama melon atau semangka. Bonte’ disajikan dalam bentuk irisan kecil membelah penamangnya yang berbentuk lingkaran, dihidangkan dalam piring kecil bersama sambal tomat yang diberi terasi. Lebih nikmat lagi kalau sambal tomat dan terasi itu ditumis terlebih dahulu.

Lauk apapun yang terhidang di meja makan, dan saya tentu lebih memilih ikan dibanding ayam atau daging, akan jauh lebih nikmat dengan bonte’ dan sambal sebagai pelengkapnya. Terkadang benak saya malah melebih-lebihkan statusnya dengan mengumpamakan ia sebagai aktor utama penggugah selera di meja makan, sementara yang lainnya hanya figuran. Saya rela berlama-lama, sambil menambah porsi makan, sekiranya ia hadir di menu makan saya. Apalagi sekiranya ditemani ikan carede goreng yang renyah.

Bonte’ punya nama populer di kalangan biologis: Cucumis sativus L. dan termasuk dalam suku labu-labuan atau Cucurbitaceae. Bentuknya seperti torpedo, memanjang dengan penampang melintang berbentuk lingkaran. Meski sebetulnya berbentuk buah-buahan, tapi dia lebih dikenal dalam kelompok sayuran. Sejatinya buah bonte berwarna hijau tua, namun kemudian terdominasi oleh warna putih berbentuk larik-larik. Bonte’ yang segar dan nikmat biasanya berkulit warna putih hingga di bagian bawahnya dengan sedikit hijau di kepalanya.

Bonte ini termasuk sayuran yang digemari. Selain menyegarkan sebagai teman lalapan atau sambal, harganya juga murah. Cukup dengan uang Rp 500, bisa membawa tiga buah dengan ukuran 10-15cm. Kalau nasibnya sedang beruntung, bonte’ naik kelas menjadi “teman” para gadis yang hendak menjadikan potongannya untuk melembabkan wajah, atau penutup mata ketika rehat kala perawatan wajah atau facial.

*****

Bonte’ juga punya mitos di kalangan penikmatnya, yang akan saya ceritakan belakangan. Buah ini sesungguhnya mudah ditemukan di kebun atau ladang liar. Dahulu, saya sering memetiknya di bekas-bekas penumpukan sampah di belakang rumah. Tanaman merambat ini mudah beradaptasi dengan lingkungan manapun. Tidak perlu perawatan yang telaten, ia berbuah kapan saja dimana saja. Sering saya membawa pulang beberapa buah bonte’ hasil berburu di tempat bermain di bukit bekas sampah yang tentunya subur dijejali kompos.

Bonte’ yang enak dan menyegarkan punya rasa yang mirip melon, meski rasa manisnya minimalis. Kalau sudah masuk ke mulut, maka daging lembutnya akan bergemeretak ditembus geligi. Bunyinya renyah seperti kacang garing yang agak lunak. Kalau dicelupkan terlebih dahulu ke dalam sambal, maka renyahnya akan berkontribusi pada kenikmatan rasa pedas yang merangsang tarian lidah..

Kalau sekiranya bonte’ yang dihidangkan berasa pahit, dan ini tidak jarang terjadi, maka umumnya kawan makan kita akan berucap jenaka. “wah ini bonte’ curian. Rasanya pekke’ (pahit, bugis)”. Kalau menemu potongan bonte’ yang pekke’, maka kita tidak perlu menandaskan hingga potongan terakhir. Lebih baik mencicipi potongan dari buah yang lain. Ini lah mitos bonte’ di kalangan masyarakat bugis. Konon rasanya merefleksikan asalnya, menjadi penanda buat penikmatnya. Kalau pahit, berarti ia dicerabut tanpa keikhlasan pemiliknya.

Tumbuhan Bonte’ punya keunikan lainnya. Ia seperti hadir hanya untuk melengkapi kenikmatan sambal. Setelah berbunga dan menghasilkan kira-kira 20 buah, tanaman rambat dengan bunga hermafordit ini kemudian mati. Sekali berarti, sudah itu mati. Demikian kira-kira motto hidup Bonte’, meminjam larik sajak Diponegoro-nya bang Chairil Anwar.

Tagged with: ,

6 Responses

Subscribe to comments with RSS.

  1. asepsaiba said, on February 16, 2010 at 2:33 pm

    Kok agak mirip dengan bahasa dikampung saya di Indramayu ya.. cuma ditambah ‘ng’ jadinga Bonteng… 🙂 Jangan2 pendiri Bugis dan Wiralodra (pendiri Indramayu) sodaraan… 🙂

  2. Lina said, on February 18, 2010 at 8:28 am

    dimana ko dapat bonte Rp.500/3bh, disini Rp.1500-2000/bh bos 😦
    pake ikan bakar, dn.kemangi & sambel mangga..yuk mariiii , di belah 2 trus potong memanjang beberapa bagian kearah pangkal ( jangan putus) trus tengahnya taburi garam, jadi deh snack sehat menyegarkan hehehe…

  3. daengrusle said, on February 18, 2010 at 10:05 am

    @kang asep:
    iya ya, kan satu rumpun…:D

    @Lina
    memang hargana 1000-an, setelah saya verifikasi ke mama na Mahdi…hehehe

  4. hartinah said, on February 21, 2010 at 8:17 am

    bonte’ enak dijadikan acar trus makan sama martabak. malam-mala sambil begadang. hhmmm nyamaaanggg 😀

  5. Ipul said, on February 22, 2010 at 7:33 am

    dulu…waktu masih ABG, saya menggunakan bonte untuk melakukan sesuatu berdasarkan mitos yang beredar di kalangan teman2 sejawat…
    mm…ndak tauk, mitos itu benar atau tidak..yang jelas untuk saya, it works..!!
    hahahaha

  6. Aspirasi Warga Tangerang Selatan said, on February 25, 2010 at 8:32 am

    salam kenal ya pak…. insya Alloh nnt kita ketemuan di kopdar blogor ya…


Leave a comment