…menulis untuk mencicil ketidaktahuan

Kisah Unik dari Makam Keramat

Posted in agama, cerita, feature by daengrusle on June 17, 2019

image.png

Majalah Tempo edisi 15 Juni 2019 terbit dengan sampul muka berlatar perempuan-perempuan berniqab di tenda penampungan tahanan ISIS di Suriah. Meski laporan investigative langsung dari kantong-kantong pengungsian di Suriah ini ciamik dan enak dibaca – tentu dengan perasaan getir bercampur marah, namun sejatinya saya lebih tertarik dengan reportase di rubrik “Iqra” yang mengambil bahan dari buku karya terbaru George Quinn “Bandit Saints of Java” – kisah makam-makan “wali pinggiran” atau “tokoh fenomenal” masa lalu yang ramai dikunjungi penziarah.

Yang menarik justru bagaimana persepsi masyarakat Jawa – juga hampir seluruh kebudayaan nusantara – yang membangun impresi dan gambaran tentang sosok-sosok yang mencuat namanya dalam bentuk paling hiperbola sekalipun ketika wujudnya sudah berbentuk kuburan. Dengan mitos, legenda, atau cerita-cerita berbumbu, makam-makam yang tersebar banyak hingga di hutan dan perbukitan dipercaya mampu mendatangkan nasib baik atau bisa mencukupkan hajat yang mendatanginya.

Padahal, beberapa di-antaranya hanyalah seorang berandalan (bandit) di masa hidupnya, seperti Ki Balak dan Ki Boncolono namun kemudian menyebarkan budi baik di masyarakat. Hasil jarahan atau rampokannya – seperti kisah Si Pitung atau Robin Hood – disebarkannya ke kaum miskin.

Jadilah, sepeninggal mereka, kuburannya menjadi semacam tempat keramat yang disinggahi penziarah. Menariknya, kuncen makam Ki Balak menganjurkan penziarah untuk memberi sesajen berupa candu mentah kalau hendak hajatnya dikabulkan. Konon karena Ki Balak semasa hidupnya ratusan tahun lalu adalah seorang penikmat candu.

Ada juga kisah lain, tentang Mbah Jugo, yang sejatinya menurut salah satu versi cerita, hanyalah seorang tabib Cina yang rajin menyembuhkan penduduk di Gunung Kawi – yang kini terkenal sebagai gunung pesugihan. Makamnya di desa Jugo menjadi tempat warga keturunan Tionghoa memohon rezeki dan dilancarkan usahanya.

Penziarah berdatangan tidak hanya dari nusantara, tapi juga dari Malaysia, Singapura, bahkan dari Taiwan, Hongkon dan Cina. Di sekitar makamnya berdiri banyak juga kelenteng Cina, berdampingan dengan masjid dan pesantren.

Anehnya, sosok Mbah Jugo juga muncul dalam versi Islamnya. Sosok mbah Jugo di-islam-kan sedemikian rupa sehingga ia kemudian diceritakan sebenarnya adalah seorang alim bernama Kiai Zakaria. Kiai ini konon adalah perwira dari pasukan Diponegoro yang menyingkir ke Gunung Kawi. Oleh penduduk sekitarnya, dua versi berbeda dalam satu sosok makam ini tidak begitu diributkan. Buat mereka, impresi para penziarah adalah hak masing-masing.

Cerita lainnya tentang makam yang dikeramatkan berasal dari Sumenep. Ada satu makam yang dipercaya menjadi tempat jasad Pangeran Jimat atau Cakranegara II beristirahat dan menjadi tempat yang ramai dikunjungi. Namun arsip kolonial menuliskan bahwa pangeran ini punya kecenderungan seksual yang berbeda dari umumnya, dia dianggap menyukai sesama jenis.

Pangeran yang tak pernah memiliki istri dan keturunan ini diceritakan suka memelihara prajurit atau pangeran yang tampan di istananya. Para penziarah bukan tak tahu mitos itu, mereka tahu ada versi cerita tentang Pangeran Jimat yang homoseksual. Tapi mereka cukup memaklumi, bagi penziarah itu, sosok wali memang terkadang punya perilaku yang tak biasanya.

Menariknya, di tengah semakin maraknya Islam konservatif yang kadang bernuansa politis ke nusantara, jumlah penziarah ke makam-makam suci ini konon semakin melonjak jumlahnya. Artinya, penganut Islam tradisional tidak terpengaruh dengan perkembangan “dakwah” islam a la kaum kota atau – entah bagaimana mengklasifikasikannya. Di tahun 1988, makam-makam suci ini diziarahi hanya sekitar 500ribu orang. Namun di tahun 2005, jumlah ini meningkat menjadi tiga setengah juga.

Sebuah makam akan lestari diziarahi orang kalau ada masyarakat yang “merawat” ingatan atau kisah-kisah seputar sosok yang terbaring di dalam makam itu. Ingatan dan kisah yang kemudian dibumbui dengan karomah atau hal-hal supranatural tentu akan menarik orang untuk mendatangi. Namun kalau orang sekitar mulai abai, tentu “kekeramatan” makam itu akan berangsur punah. Begitu pula dengan ingatan kita ke sesepuh keluarga. Semakin jauh, semakin lupa.

Tagged with: , ,