…menulis untuk mencicil ketidaktahuan

Dekat Rumah dan Bermewah Dalam Bahasa

Posted in Indonesia, Sejarah, Sulawesi Selatan by daengrusle on April 9, 2013
Di ujung tebing, Jabel al-Shams, Oman 2011

Di ujung tebing, Jabel al-Shams, Oman 2011

Hidup berpindah merupakan kemewahan. Terutama dalam mencerap bahasa dan ragam budaya berbeda di “dekat rumah”. Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu pertama.

Saya lahir di Wajo dan besar di Makassar. Terlahir dari keluarga berlatar suku bugis maka saya dibesarkan dengan bahasa bugis sebagai bahasa lidah ibu sehari-hari (mother tongue). Kedua orang tua saya dan kakak-kakak berkomunikasi dalam bahasa bugis. Seperti dirancang sebagai pembeda tempat lahir, adik-adik saya yang lahir di Makassar diperkenalkan dengan komunikasi bahasa indonesia dialek makassar.

Alhasil, penghuni rumah menggunakan dua bahasa pengantar; bugis dan indonesia dialek makassar. Meski agak aneh, tapi komunikasi dalam dua bahasa itu bisa nyambung saja. Kedua orang tua saya masih mempertahankan moda komunikasinya dalam bahasa bugis, sedang adik-adik saya menimpalinya dengan bahasa Indonesia. Mereka bercakap dalam bahasa berbeda, tapi saling memaklumi maksud masing-masing.

Sejak tahun 1980, keluarga saya menetap di Pannampu. Tetangga dekat rumah saya umumnya juga bersuku bugis; bone, wajo, soppeng, sidrap, maros dan sekitarnya. Namun lingkungan Pannampu secara umum dihuni oleh penduduk berbahasa Makassar, terutama bagi para pedagang pasar Pannampu yang lokasinya berdempetan dengan rumah kami (Baca juga: Menunggu Mereka Bermain Api di Pasar Pannampu). Juga, kawan-kawan di sekolah umumnya bersuku Makassar.

Jadilah saya dalam sepergaulan menggunakan bahasa yang bercampur baur; bugis, makassar dan Indonesia. Dalam masa kecil saya itu, tanpa saya sadari, saya bermewah-mewah dengan alam linguistik yang beragam. Tiga bahasa berbeda bisa berkelindan dan tak menimbulkan kecanggungan dalam berkomunikasi. (more…)

Tagged with:

Menang Siri’ Menang Pesse

Posted in Indonesia, Sejarah, Sulawesi Selatan by daengrusle on January 26, 2013

Khaerina Dian Milenia, ponakan cantikku

Pemimpin yang sejati adalah pemimpin yang menang di dua hal, menang siri’ dan menang pesse. Di satu sisi ia selalu menjaga kehormatannya dengan menjalankan amanat yang diemban dengan bersungguh-sungguh di jalur yang benar, dan di sisi lain ia juga memuliakan sesama dengan membangun empati sejati, tak peduli kawan atau lawan, elit atau jelata.

Kehormatan Bersendikan Empati

Wajo, negeri yang konon merupakan republik paling awal di nusantara ini sesungguhnya punya tradisi panjang melahirkan pemimpin yang berkarakter humanis. Tak hanya piawai menegakkan kehormatan (siri), tapi mereka juga setia merawat empati kemanusiaan (pesse).

Salah satu yang cukup dikenal dalam kronik kepahlawanan lokal daerah ini adalah sosok La Maddukelleng. Dikabarkan bahwa ia pernah mengurungkan niat menyusuri sungai Walanae dengan bala tentara perangnya di bulan April 1736 hanya karena menghargai Batari Toja Daeng Talaga, penguasa perempuan yang memerintah Bone. Menurut kearifan lokal Bugis yang diyakininya, tak elok seorang komandan perang memasuki daerah kekuasaan seorang perempuan, meskipun ia adalah seteru perangnya.

La Maddukelleng, yang saat itu masih berstatus “buronan Bone” dan bermaksud pulang ke kampung halamannya di Penekki memilih untuk memutar menghindari tanah kekuasaan maharatu Batari Toja, penguasa tiga kerajaan besar bugis kala itu: Bone, Soppeng dan Luwu. Akhir kisah perang di pertengahan abad 18M itu menyebutkan bahwa Wajo- sekutu setia Gowa dalam perang Makassar, kembali merengkuh kemerdekaannya dari telapak kaki kolonial VOC, pun tak lagi menjadi bawahan Bone. La Maddukelleng sendiri kelak ditahbiskan sebagai Arung Matoa Wajo ke-21 dan bergelar terhormat: ”Petta Pamaraddekai Tana Wajo” – yang memerdekakan tanah Wajo. (more…)

Tagged with: , ,

Buku Pertama tentang Nusantara Yang Terbit di Eropa: Sejarah Makassar

Posted in Indonesia, Sejarah, Sulawesi Selatan by daengrusle on January 10, 2013

Postingan ini merupakan terjemahan dari artikel Christian Pelras di Jurnal Archipel  Volume 54, Tahun 1997 berjudul “The First Description of South Sulawesi in French and Remarkable for Two Young Princes Makassar in France of Louis XIV”

=====

buku nusantara di eropaSebuah buku tipis bertajuk “Description Historique du Royaume de Macassar” atau Rincian Sejarah Kerajaan Makassar terbit di Paris, Prancis tahun 1688. Penulisnya disebutkan bernama Gervaise Nicolas dengan penerbit Grand Saint Grégoir milik pustakawan Hillaire Foucault. Tampaknya buku ini cukup laris karena edisi keduanya kemudian diterbitkan oleh Erasmus Klinkius di Regensburg tahun 1700, dengan beberapa penambahan data. Setahun kemudian, edisi terjemahan berbahasa Inggris nya terbit di London, tahun 1701.

Rupanya penulis yang menyukai sejarah ini juga menerbitkan buku berbeda pada tahun yang sama, kali ini dia mengulas tentang Kerajaan Siam Histoire Naturelle et Politique du Royaume de Siam” atau Sejarah dan Politik Kerajaan Siam. Pada masa itu, Siam memang banyak berhubungan dengan Perancis. Keduanya bahkan sudah menjajaki pertukaran duta besar yang pada tahun 1685 kantor perwakilan Perancis di Siam dipimpin oleh M de Chaumont demikian juga dengan intensnya pengiriman misionaris Kristen dari Society of Foreign Missions of Paris ke Siam. Sebuah kesepakatan juga ditandatangani, bahwa Perancis mendatangkan pasukan untuk melindungi Raja Siam dan ditempatkan di benteng2 di Bangkok dan Mergui. Saat itu, banyak buku kemudian diterbitkan di Siam. Namun, saat itu nama Makassar tak begitu dikenal dan menjadi perhatian Perancis. Tidak ada satupun tulisan yang diterbitkan dalam bahasa Perancis, mengenai Makassar khususnya, atau pulau Sulawesi secara umum sebelum abad 19. Tiga pertanyaan muncul di benak: Siapa sebenarnya Gervaise, apa latar belakang dari penerbitan bukunya, dan dengan cara bagaimana ia mendapatkan informasi mengenai buku itu? Tapi sebelum Anda menjawab, mari kita urai secara singkat megenai isi buku tersebut.

Buku itu terbagi menjadi tiga bahagian. Buku Pertama, menceritakan tentang situasi negara, buah-buahan, tanaman, hewan, sungai dan kota-kota besar, yang diawali dengan penjelasan singkat mengenai peperangan melawan Toraja oleh seorang Raja Makasar yang oleh penulis disebut “Craen Biset “-  yang kemungkinan merujuk ke Sultan Ali yang bergelar Karaeng ri Bisei yang merupakan penguasa Goa tahun 1674-1677 (orang Barat menyebut Goa sebagai Macassar). Penulis melanjutkan bahagian pertama itu dengan deskripsi negara Toraja dan hal lainnya menyangkut flora, fauna, produk masyarakatnya, dll. (more…)

Jejak Kristen di Tanah Bugis Abad 16

Posted in Indonesia, Sulawesi Selatan by daengrusle on January 10, 2013

Peta Sulawesi buatan Protugis tahun 1633 – yg dilingkari wilayah Siang dan Ajatappareng (Dari Buku Stephen Druce)

Kristen Dulu, Islam Kemudian; Jejak Kristen di Tanah Bugis Abad 16

Masyarakat Bugis dikenal sebagai penganut Islam yang taat. Saking fanatiknya, bagi sesiapa yang keluar dari agama Islam konon akan mendapat hukuman sosial; disingkirkan dari hubungan kekerabatan dan terusir dari lingkungan. Meski mungkin saat ini tak begitu berlaku lagi, namun integrasi Islam ke dalam pranata sosial masyarakat Bugis masih terasa lekat.

Namun sebelum mengalami Islamisasi, mereka pernah mula-mula memeluk agama Kristen Katholik yang didakwahkan oleh pedagang Portugis. Meski diduga berlatarbelakang kepentingan politis, nyatanya raja-raja di kerajaan Siang (kini Bungoro, Pangkep) dan kawasan Ajatappareng pernah dibaptis dalam tradisi Katholik. Proses peralihan kepercayaan patturioloang Bugis ke iman Kristen memang berlangsung singkat dari tahun 1544-1547, namun sebaran agama Kristen mencakup jumlah penduduk yang cukup banyak saat itu, tak kurang dari 340,000 jiwa.

 

Kerajaan Siang dan Konfederasi Ajatappareng

Ketika gelora petualangan menghinggapi benak bangsa Eropa untuk mencari sumber emas dan rempah-rempah, seorang Portugis bernama Antonio de Paiva singgah di Kerajaan Siang pada tahun 1544. Setelah melakukan diskusi teologis yang hangat, de Pavia kemudian membaptis Datu Suppa La Putebulu beserta anggota keluarganya, berikut Raja Siang beberapa hari setelahnya. Hubungan dua bangsa berbeda ini juga menghasilkan pengiriman empat pangeran Bugis menyertai Antonio de Paiva untuk dididik di Sekolah Jesuit di India, di samping permintaan raja Siang dan Suppa agar Gubernur Portugis di Malaka mengirim pendeta dan bantuan militer. Kisah ini dicatatkan oleh de Pavia sebagaimana dituliskan oleh Stephen C Druce dalam bukunya The Lands West of The LakesHistory of Ajatappareng, (Penerbit KITLV-2009). Yang disebut Ajatappareng adalah konfederasi kerajaan-kerajaan Bugis yang berdiam di tanah subur sebelah barat danau Sidenreng yang terdiri dari Sidenreng, Rappang, Suppa, Bacukiki, Alitta, dan Sawitto.

Portugis rupanya hanya mengindahkan permintaan pertama. Setahun setelah kedatangan de Paiva, sebuah misi khusus kekristenan dipimpin pendeta Vicente Viegas berhasil membaptis penguasa Alitta dan Bacukiki. Kronik lainnya dicatat oleh Manuel Godinho de Eredia, cucu La Putebulu dari ayah seorang Portugis, menyebutkan bahwa turut serta dalam pembaptisan ini adalah raja Sawitto dan Sidenreng. Manuel Godinho de Eredia sendiri, sempat mengenyam pendidikan seminari katholik di Goa dan kemudian menjadi petualang dan ahli geografi terkenal. Lelaki portugis keturunan bugis ini juga dikenal sebagai penulis sejarah dan orang pertama yang mengindikasikan adanya benua Australia di selatan kepulauan Hindia, yang mana mungkin diperoleh dari cerita-cerita leluhurnya.

Mengingat kekerabatan antara penguasa kawasan Ajatappareng yang saling berkelindan baik dari hubungan darah maupun politis menguatkan dugaan bahwa seluruh raja-raja di Ajatappareng telah memeluk agama Katholik pada tahun 1545, sementara agama Islam baru diproklamirkan sebagai agama resmi Gowa-Tallo pada tahun 1605. Nalar stratifikasi sosial orang Bugis yang cenderung menganut sistem patron-klien memungkinkan peralihan massal keyakinan masyarakat Siang dan Ajatappareng ke dalam pelukan agama baru ini mengikuti rajanya. (more…)

Tala’ Salapang: Ihwal Sembilan Pokok Lontar Pungunjuk Damai di Makassar

Posted in Sulawesi Selatan by daengrusle on December 29, 2012

 

Tala’ Salapang (dikutip dari majalahversi.com)

Sebagian orang luar mengidentikkan kekasaran orang Makassar pada nama kota dan entitas suku yang melekat pada mereka, MAKASSAR. Merujuk kepada umumnya pola bentukan kata dalam bahasa Indonesia, mereka kemudian mengeja Makassar sebagai kata “Kasar” yang diberi imbuhan me- yang menjadikannnya kata kerja aktif. Maka muncullah pemahaman bahwa Makassar secara historis dibentuk dan dihuni oleh orang-orang yang gemar melakukan kekasaran.

Kecenderungan pemahaman berbau linguistik ini dapat dipahami sesaat meski cacat sejarah. Melekatnya generalisasi bahwa orang-orang Makassar cenderung kasar dan keras, dengan mengambil sampel pengalaman-pengalaman buruk berkenaan dengan orang Makassar tentu menjadi pembenaran. Ditambah lagi dengan eksploitasi kekerasan yang disiarkan rutin oleh media massa terutama TV nasional yang ‘rajin’ meliput drama kekerasan di Makassar menjadi penguat pemahaman sesat ini.

Ketika berada di linikala sejarah, sebuah teks tidak pernah berdiri sendiri. Sebuah teks selalu terikat pada tafsir peristiwa yang mengukuhkan. Tafsir itu kita sebut saja konteks. Konteks selalu membubuhkan pendalaman akan musabab munculnya teks tersebut. Walaupun tak jarang sebuah teks memiliki konteks yang beragam. Konteks-konteks yang beragam ini bisa saja muncul karena banyaknya penutur yang menempelkan kisah pada teks berdasarkan perspektif subyektifnya, kemudian dengan caranya sendiri sampai ke ruang baca kita.

(more…)

Catatan Kuru Sumange: Suryadin Laoddang

Posted in Indonesia, Sulawesi Selatan by daengrusle on December 23, 2012

Suryadin Laoddang – Daeng Ading (sumber: laman facebooknya)

kuru sumange atas sharingnya daeng Adin.. – sering saya tuliskan untuk mewakili rasa terimakasih saya untuk kawan ini.

Pena Suryadin Laoddang Mengukir Budaya Bugis

Ketika generasi muda kita mulai melupakan bahasa dan budaya Bugis dan lebih menekuni menatap gadget yang mengumbar budaya pop, Suryadin Laoddang menjadi pengecualian. Melalui tulisan-tulisannya, beragam informasi tentang kearifan lokal Bugis menghinggapi ruang baca kita. Sebuah ketekunan yang perlu diapresiasi ketika kita mulai kehilangan penutur muda yang berpengetahuan detail tentang budaya Bugis.

Begitu banyak orang mulai melupakan bahasa Bugis, jangankan bercakap, hendak mengenal bahasa dan juga budaya Bugis sudah enggan karena dianggap tak sejalan lagi dengan budaya pop. Berbahasa daerah identik dengan ketinggalan jaman dan kita sedang dijangkiti anggapan bahwa hanya orang kampung yang berbahasa daerah. Meski banyak orang berseru bahwa kearifan lokal, termasuk bahasa dan budaya, perlu digali untuk menahan laju hedonisme dan ketergesaan budaya instan yang kini menjauhkan masyarakat dari dirinya sendiri. Tapi seruan itu tergerus pergaulan yang menihilkan keikutsertaan semua hal yang menyangkut kedaerahan. Hidup hanya sepenting layar datar berbentuk persegi di hadapan kita saban siang dan malam. TV dan handphone! (more…)

Cerita Muram Tentang Bangsamu

Posted in Indonesia, puisi, Renungan, Sulawesi Selatan by daengrusle on December 16, 2012

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

bangsamu terlalu banyak menanam dendam.
aku takut jika kembali, jalanan dijejali amarah, buah dendam yang berbiak.
tanahmu memang subur untuk lahan pertengkaran,
lihatlah mahasiswa kini lebih suka memegang badik daripada diktat dan pena.
para dosen konon gemar mampir ke meja proyek berhitung neraca untung rugi
daripada membuihkan tinta di kertas jurnal

bangsamu terlalu banyak menimbun prasangka
aku takut jika kembali, rumah2 menatapku kecut seperti lampu muram
kudengar para pengkhotbah kini suka merentangkan telunjuk, seumpama tongkat guru yang menghukum murid nakal sebagai sesat dan kafir,
padahal para murid juga merapal rukun yang lima, mengingat rukun yang enam.
murid yang nakal, konon karena berani berpendapat beda, entahlah.

bangsamu terlalu sering menumpahkan serapah
aku takut kalau kembali, tiba-tiba menjadi batu, menjadi malin kundang
konon serapah perempuanmu bisa menjadikan siapa saja menjadi batu yang malang

padahal aku menyimpan bekal ribuan maaf di pundakku, juga di telaga mataku
aku dengar karena berbeda, orang mudah meludahi saudaranya dengan serapah
aku takut berlumur lumpur,

maka kuputuskan untuk diam di sini, di negeri asing
aku dianggap asing, karenanya dianggap tak ada,
tak ada juga dendam, prasangka dan serapah.

karena aku asing, tentunya.

(abudhabi, desember 2012)

Orowane Tu Malompoe

Posted in Indonesia, Sulawesi Selatan by daengrusle on December 9, 2012

Mallarangeng Bersaudara mengapir Wapres Boediono (Sumber: Reuters)

Tak banyak kekaguman dihantarkan untuk peristiwa yang sesungguhnya biasa saja. Pejabat mundur karena dijadikan tersangka, itu wajar seharusnya.

Menjadi tak wajar karena hal itu jarang terjadi. Jangankan dijadikan tersangka, ada pejabat yang nyata-nyata sudah melakukan pelanggaran etika dan menghina moralitas bangsa pun masih enggan melepas jabatan publiknya. Bahkan, ada tokoh yang sudah melontarkan fitnah SARA masih berbual hendak jadi presiden.

Di negeri yang konon ramah dan mengagungkan perilaku bijak, malu dan kemaluan menjadi barang yang murah meriah harganya. Pejabat yang meski perilakunya sudah malu-maluin, memalukan diri, keluarga dan masyarakatnya, masih enggan mundur dan berdiri tegak dengan muka badak di panggung ketenarannya, di singgasana kekuasaannya.

Jabatan publik, sejatinya dipegang orang-orang yang tanpa cela, pejuang sejati. Yang rela mengorbankan tenaga dan pikirannya untuk kemaslahatan ummat, bukan untuk diri sendiri, apalagi untuk kocek sendiri. Demikianlah, harapan mengikut pada jabatan, tuntutan menyertai sebuah wewenang.

Andi Alifian Mallarangeng, hari ini menghiasi lini masa ruang baca kita. Beliau mundur sebagai pejabat hanya sehari setelah KPK menetapkannya sebagai tersangka kasus korupsi proyek Hambalang. KPK menengarai kakak dari Rizal dan Choel Mallarangeng ini menyalahgunakan wewenang sebagai Menpora saat mengegolkan proyek pembangunan kawasan atlet megah di selatan Jakarta itu. (more…)

Tagged with: , ,

Menunggu Mereka Bermain Api di Pasar Pannampu

Posted in Indonesia, Sulawesi Selatan by daengrusle on October 8, 2012

Pasar Pannampu, meluber hingga ke perumahan

Tulisan ini juga dimuat di web MakassarNolKm.

Pasar Pannampu, yang mulai dibuka sejak tahun 1980, adalah salah satu dari sekian pasar tradisional di Makassar yang masih belum “diremajakan”. Jargon “peremajaan” pasar sesungguhnya mengandung terror bagi warga, karena dianggap bermakna sama dengan pembakaran pasar. Dalam tulisan ini, saya bercerita sebagai warga yang mendiami Pasar Pannampu sejak tahun 1980.

Pasar Panampu adalah masa lalu. Itu buat saya. Tapi buat ibu saya, Hajah Hatika (65tahun) pasar tradisional itu ibarat roda tua yang masih berputar. Pasar Pannampu yang kumuh seumpama geliat hidup yang menemani usianya hingga kini di bibir senja, nun sejak 32 tahun silam. Padahal sejak 5 tahun lalu kami sekeluarga pindah menetap di Ujungpandang Baru, tapi hanya ibu yang rajin mengunjungi rumah lama kami di pasar Panampu. Di rumah lama itu, beliau setia menjaga lapak jualannya. Ada puluhan warga asli pasar Pannampu yang seperti ibu saya, enggan beranjak dari pasar tua itu. Terutama karena pasar itu sudah memberi asupan ekonomi buat mereka sejak lama.

Api dan Peremajaan Pasar
Pasar Pannampu, yang mulai dibuka sejak tahun 1980, adalah salah satu dari sekian pasar tradisional di Makassar yang masih belum “diremajakan”. Itupun hanya tinggal waktu, tinggal menunggu api dipantik. Ini makna sebenarnya, bukan sekedar kiasan. Bagi pola pikir pemerintahan yang menghalalkan segala cara demi komersialisasi kawasan, peremajaan lebih sering bermakna “memantik api”. Membakar!.

Bagi warga pasar Pannampu, jargon pemerintah atau politisi yang sering menyebut-nyebut istilah “peremajaan” mengandung ancaman yang menakutkan, teror dalam bentuk kecemasan. Peremajaan, seperti modus yang jamak dipahami, selalu dimulai dengan pembakaran pasar lama. Dianggap sebagai cara termudah untuk mengusir pedagang lama tanpa harus melakukan negosiasi yang alot. Beberapa kali pasar “nyaris” terbakar, tinggal menunggu waktu saja pasar tua itu menjadi remaja kembali setelah diratakan. Tinggal menunggu mereka bermain api.

Api menjadi semacam obat “kembali” muda bagi pasar tua. Mungkin ingatan kita masih belum pudar tentang Pasar Sentral Makassar. Pusat perdagangan tradisional kota Makassar ini tercatat beberapa kali terbakar, untuk kemudian diremajakan; 1982, 1991 dan terakhir tahun 2011. Pasar Pannampu juga sudah beberapa kali terancam api, terutama di tahun 1990-an, 2009, 2011, 2012. Memang kebakaran-kebakaran itu tak sampai menghanguskan seluruhnya, tapi itu sekedar pertanda bahwa saat hangus seluruhnya mungkin akan tiba. (more…)

Datu Museng, Makam Yang Tersembunyi

Posted in Sulawesi Selatan by daengrusle on September 28, 2012

Foto Makam Datu Museng, (sumber: http://jalan2serumakassar.com/)

Dua anak kecil itu riang mengantar saya ke makam Datu Museng. Keduanya, Farid dan Uceng, adalah siswa SD Mangkura yang letaknya tak jauh dari situ. Saya bertemu mereka ketika pagi itu saya kebingungan sendirian di depan bilik makam Datu Museng yang terkunci rapat. Saya katakan bilik, karena memang makamnya hanya seperti sebuah kamar kecil berukuran 2×2 meter dengan tembok berwarna merah muda. Bilik makam ini diberi pagar besi hijau, mengitari pekarangan makam yang tak lebih luas dari bilik itu sendiri.

Kondisi bilik makam ini mengenaskan. Saat saya berkunjung, sampah dan debu pasir hitam berserakan di mana-mana. Di beberapa bagian pekarangan, ada tumpukan sampah dan bangkai bunga dan dedaunan. Mungkin bekas penziarah yang membuang begitu saja sampah itu. Dinding makam terutama di bagian bawah dipenuhi jelaga hitam, mirip tembok bengkel motor yang dilumuri oli. Sebuah makam kecil berkeramik putih yang terletak persis di bawah dua jendela makam di pekarangan itu tak ubahnya seperti tempat sampah saja. Padahal makam itu konon mengubur jazad seorang pengawal Datu Museng.

Hanya ada satu penanda papan nama kecil tepat di atas pintu berwarna hijau, bertuliskan dengan cat emas “Makam Datu Museng”. Selain penanda itu, orang tak akan mengenali siapa yang berada di dalam bilik ini. Pun ketika pertama kali mencari sendiri letak makam ini, dengan menyusuri jalan Datu Museng di Makassar, saya seperti kehilangan jejak. Tak ada penanda ataupun bangunan yang secara kasat mata menunjukkan keberadaan makam ini. Barulah ketika bertanya ke seorang daeng becak yang mangkal di seberang kantor kelurahan Maloku, saya ditunjuki arahnya.

Sebuah bangunan kecil yang berada di bibir lorong kecil, nyaris tersembunyi di antara kios rokok dan warung makan di depannya. Kalau tak awas mata menyusuri sekitar, makam ini tak akan teramati dengan jelas. Beberapa teman juga tak mengira bahwa tepat di depan RS Stella Maris yang terkenal itu, sesungguhnya ada makam Datu Museng; tokoh yang menginsipirasi legenda asmara yang dikisahkan turun temurun oleh para tetua Makassar melalui prosa liris Sinrilik Datu Museng – Maipa Deapati.

Padahal makam ini, menyimpan sosok seorang “pahlawan” yang kemudian lebih benderang sebagai pijar legenda asmara dari Makassar. Lebih dikenal sebagai tokoh dalam kisah fiksi daripada sosok yang menyejarah dalam lini masa kerajaan Sumbawa, juga kota Makassar. Jejak heroik, tak hanya kisah percintaan, mendekap erat di kisah pemuda yang berusia tak lebih dari 30 tahun ketika tewas dibunuh pasukan Belanda di bibir pantai yang kini dikenal dengan sunset yang indah, Losari.