…menulis untuk mencicil ketidaktahuan

Guru Saya Budiaman

Posted in Indonesia, Renungan by daengrusle on May 4, 2012

Almarhum Guru Saya Budiaman

Barangkali, setiap media nasional ‘meributkan’ gonjang-ganjing Ujian Nasional yang sedang berlangsung, saya selalu teringat mendiang guru bahasa Inggeris saya di SMAN 1 Makassar.  Yang selalu terkenang sederhana saja, bahwa Pak Budiaman Faisal –beliau yang semoga jiwanya selalu dalam kasihNya – senantiasa mengingatkan untuk tidak menyontek. Tidak saja di mata ajaran yang beliau sajikan, tapi juga pesannya di-seluruh-kan ke mata ajaran lain.

Meski terbilang sulit bagi kami untuk ber-cas-cis-cus dalam bahasa inggeris, namun dia tak begitu ambil pusing. Setahu saya penilaian beliau bukan melulu terpaku pada hasil ujian materi kami, tapi beliau meramukan keseluruhan proses belajar mengajar. Dia tak hanya mengajar, tapi juga mendidik. 

Ketika mengajar, beliau berusaha membuat mata pelajaran bahasa inggris itu sedemikian menariknya. Beliau mati-matian meresapkan ke benak kami bahwa belajar itu menyenangkan. Seringkali beliau mengajar sambil bercerita dengan lagak yang sangat karikatural. Menyenangkan! Suatu ketika beliau mengajari kami tentang “gerund” – kata kerja yang di-benda-kan, dengan mengambil latar liga bola di Inggeris. Hingga kini, saya menancapkan pemahaman tentang kata gerund ini langsung ke sosok beliau.

“Jangan menyontek! Tak mengapa nilaimu jelek asalkan itu hasil usahamu sendiri” nasehatnya acap kali ujian berlangsung. Kami yang kadang tak begitu percaya diri kala ujian menjelang, seringkali tak begitu menghiraukan nasehat itu. Bagi kami, melulu soal adalah bagaimana biar tak gagal ujian, biar selalu naik kelas. Segala cara kadang kami tempuh, bila tak bisa menyontek kawan di kelas atau menyiapkan contekan maka kami mencoba cerdas mensiasatinya.

Terkadang kami memanfaatkan alasan permisi ke toilet demi untuk mendapatkan contekan. Kalau mendapati ‘kecurangan’ kami, pak Budiaman tak seperti guru lain yang langsung ringan tangan menghadiahkan segala bentuk hukuman fisik. Tapi beliau berbeda, hanya menunjukkan wajah yang teramat kecewa. Ini karena kami tak mengindahkan nasehatnya.

Wajah kecewa pak Budi, demikian panggilan akrab kami untuknya, sudah cukup untuk membuat satu pukulan telak di dada kami. Beliau juga tak mengumbar sumpah serapah betapa buruknya perbuatan kami. Tapi cukup dengan satu kalimat yang sederhana, “Saya kecewa, nak. Seharusnya kalian bisa lebih baik dari ini”.

Dan kami seperti tersihir, ucapan ini kemudian menggema hingga belasan tahun kemudian, setidaknya buat saya pribadi. Meski begitu, kami tetap diluluskan dalam mata pelajaran beliau, terlebih karena penilaian akhir tidak hanya mengacu ke hasil ujian saja tapi juga keseharian kami di kelas. Dia bukan tipe pendendam hanya karena nila aib setitik, kemudian merusak rasa sayang beliau yang sebelanga. Beliau mendidik, tidak hanya mengajar.

***

Nun jauh di Abu Dhabi ini, saya mengikuti kicau tentang Ujian nasional di Indonesia melalui twitter. Beragam berita dan kicauan di linimasa saya mengasupi benak saya. Berita banyak menyajikan soal beredarnya kunci jawaban, atau soal peserta didik yang dilarang ikut ujian karena hamil. Juga ada kabar siswa yang terganggu jiwanya karena ketakutan menghadapi ujian nasional ini, dan sebagainya.

Para birokrat Diknas menghimbau agar siswa  tak berlaku curang dalam ujian, sementara para guru terbelenggu statistik target kelulusan, dan siswa terbayang-bayang oleh prediksi ke-tak-lulus-an yang bercermin dari hasil tahun sebelumnya. Sekolah mulai berhitung soal target dan bonus, soal prestasi dan juga anggaran yang dihubung-hubungkan dengan tingkat kelulusan. Mereka khawatir bahwa indikator ke-taklulusan siswa dalam Ujian Nasional juga adalah indikator kegagalan mereka dalam menyelenggarakan pendidikan, yang ujungnya adalah soal kenaikan gaji, promosi, dan sebagainya.

Saya gagal paham, bagaimana mungkin Ujian Nasional menjadi momok setiap tahun dengan segala macam masalahnya. Ketika seorang siswa menjadi sangat ketakutan akan hasil Ujian Nasional, ketika seorang siswi yang kelanjur hamil ditolak mengikuti ujian, ketika guru bersama pihak sekolah membocorkan kunci jawaban ujian secara berjamaah, dan sebagainya…tiba-tiba saya teringat guru saya pak Budiaman. Guru yang melarang kami menyontek, guru yang berusaha membuat belajar itu begitu menyenangkan.

Setelah bekerja sekian belas tahun, saya sadari bahwa belajar masih merupakan kegiatan yang menyenangkan, sebagaimana yang coba diasupkan oleh Pak Budiaman. Hingga saya bisa tak begitu mengerti, mengapa Ujian Nasional kini menjadi momok. Bukankah seharusnya sistem pengajaran itu menciptakan rasa ingin tahu dengan antusiasme yang besar, bukan malah melahirkan ketakutan, keterasingan, penolakan dan penipuan berjamaah demi sebuah statistik kelulusan.

Saya gagal paham soal ini. Mungkin Pak Budiaman, di alam sana – semoga beliau masih beraktifitas jenaka di sana, amin – masih bisa sedikit berkelakar agar saya paham soal ini. Wallahu ‘alam.

4 Responses

Subscribe to comments with RSS.

  1. Irmawaty Hasyim said, on May 5, 2012 at 7:45 am

    i’m speechless, i saw many things but they’re still running, hope it’ll be better, soon, i think. btw congrats on your winning of blog writing competition, u’re always be a great friend i’ve ever met

  2. greenfaj said, on May 7, 2012 at 7:01 am

    UN adalah sebuah fenomena
    UN adalah tolak ukur yang membawa dilema

  3. […] di paruh musim kedua karena ada pemain-pemain baru yang semangatnya sedang berkobar-kobar. (WAD/MHD)JAKARTA, KOMPAS.com – Jeda kompetisi Liga Kompas Gramedia U-14 musim 2012 dimanfaatkan hampir semua … Siegers, pemain anyar SSB Bina Taruna di posisi gelandang serang, misalnya, berasal dari Semarang, […]

  4. rezky said, on November 5, 2012 at 1:22 pm

    Saya juga alumni Smansa, tp sayangnya tdk menemukan sosok guru seperti beliau..


Leave a comment